Banner Jurnalistic Independent

...........
back to top

Terjemahkan Berita

Rabu, 09 April 2014

Sejarah Singkat Kerajaan Talaga Manggung

Museum Talaga Manggung

Museum Talaga Manggung
Situ Sangiang terletak 800 meter atau  sebelum Kota Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat,  dari arah selatan. Kawasan tersebut terletak pada ketinggian tanah antara 600-800 meter.
Ketinggian tanah terendah berada di Desa Banjaran dan tertinggi di desa Sangiang Kecamatan Banjaran. Bentuk permukaan tanah umumnya beragam, namun secara umum adalah relatif datar dengan kemiringan lahan sampai dengan 10%. Lahan-lahan demikian umumnya dipergunakan untuk areal pesawahaan dan perairan.
Dari aspek iklim, kawasan Situ Sangiang termasuk type iklim C2. Kawasan WW Situ Sangiang dengan pemandangan hutan campuran diantaranya mahoni dan kayu manis ditemukan juga jenis-jenis lain diantaranya alang-alang, rumput teki, gewar, rotan, saliara, kirinyuh, popohan, tepus, kiara, manglid, suren, benda, kemiri, pasang dan lain-lain. Sedangkan jenis fauna diantaranya ular sanca, ular sawah, burung kutilang, bincarung, cangkakak.
Kegiatan Wisata yang dapat dilakukan diantaranya lintas alam, memancing dan berkemah.
Di mana Wisata Situ Sangiang terdapat makam yang dikeramatkan. Juru kunci setempat menyebutkan, makam yang ada dipinggir Situ Sangiang ini merupakan salah satu makam tokoh penyebar Islam di Daerah Majalengka dan sekitarnya.
Wajar saja bila berwisata di Situ Sangiang lebih bersifat religius. Ada yang jauh-jauh datang ke situ, hanya ingin berziarah ke makam wali dan kemudian mandi di pinggir situ. Jadi benar-benar wisata itu sangat sakral. Menurut penduduk setempat dan juru kunci situ itu merupakan penjelmaan dari sebuah kerajaan kuno yang disebut kerajaan Telaga.

Pada kira-kira zaman abad sebelum ke 15, Kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu kerajaan, bertahta yang bernama Sunan Talaga Manggung, asal keturunan Raja Prabu Siliwangi, kerajaan di Sangian. Beliau dikaruniai dua orang keturunan, satu laki-laki dan satu perempuan, yang laki-laki bernama Raden Panglurah dan yang perempuan bernama Ratu Simbar Kencana. Raden Panglurah tidak ada di keraton karena sedang melakukan tetapa di Gunung Bitung sebelah selatan Kota Talaga.
Ratu Simbar Kencana mempunyai suami kepada seorang patih di keraton tersebut, yang bernama Palembang Gunung, berasal dari Palembang. Patih palembang gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya ialah Sunan Talaga Manggung. Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama Citra Singa, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata  tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang, Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar / akan dinaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.

Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi Sunan Talaga Manggung baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, beliau diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan penghianatan biadab itu lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi Sang Prabu bersabda, “biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa  karena ia durhaka”. Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit  anggota badannya sampai mati.

Palembanga Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada (hilang) dengan seisinya hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan Situ Sangian Talaga di Kecamatan Banjaran pemekaran dari Kecamatan Talaga setelah mengalami perubahan dari Kewadanaan Talaga. Keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi Raja di Talaga.

Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada diantaranya yang memberitahukan kepada Ratu Simbar Kencana atau istrinya Palembang Gunung, bahwa kematian ayah handanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapat kabar itu maka Ratu Simbar Kencana membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya, atas kematian ayah handanya. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya  (digorok) oleh tusuk konde Ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.

Setelah Palembang Gunung itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan (putra sulung dari Sunan Talaga Manggung) sedatangnya ke Sangiang beliau merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya nampak situ saja dan setelah beliau mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (Desa Kagok).

Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh Ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian Ayah Handanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar Kencana sendri, dan beliau (Raden Panglurah) akan menyusul Ayah Handanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabulkannya, Beliau menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut Beliau beserta pengiringnya turun ke Situ Sangiang dan turut menghilang.

Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar Kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya Sunan Parung.
Sunan Parung mempunyai keturunan putri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantra Putranya Raden Munding  Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Padjajaran.

Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung menganut agama baru yakni Agama Islam dari Agama Budha, yang dikembangkan oleh Sunan Gunung Djati Cirebon (Syarif Hidayat Tulloh). Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti Prabu Pucuk Ulum. Prabu Pucuk Ulum mempunyai putra bernama Sunan Wanak Prih. Sunan Wanak Prih menjadi raja yang bertempat di Walang suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Prih mempunyai Putra Ampuh Surawijaya Sunan Kidak. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada Ampuh Surawijaya, dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.

Ampuh Sura Wijaya mempunyai putra bernama Sunan Pangeran Suawijaya, Sunan Ciburuy, diturunkan kepada Putranya Dipati Suarga. Dari putra Dipati Suarga diturunkn kepada putranya Dipati Wiranata. Kemudian kerajaan itu  diturunkan kepada putranya bernama Raden Saca Eyang hingga abad ke tujuh belas.

Kerajaan dipindahkan (dihilangkan) karena penjajahan, dan pada waktu itu kerajaan di Talaga menjadi Kabupaten. Raden Saca Nata Eyang meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada putranya bernama Aria Secanata. Setelah itu

Kabupaten dipindahkan ke Majalengka bertempat di Sindangkasih.
Waktu Kabupaten dipindahkan Bupati  Raden Sacanata menolak sampai beliau pada waktu itu dipensiun. Beliau mempunyai putra bernama Pangeran Sumanegara. Pangeran sumanegara mempunyai putri bernama Nyi Raden Angrek. Nyi Raden Angrek mempunyai suami bernama Kertadilaga putra pangeran Kartanegara kamboja. Dari Kertadilaga mempunyai putra bernama Natakusumah di Cikifai Talaga, sampai sekarang keturunanya masih ada, menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga. Barang-Barang kuno tersebut adalah Baju Kere, Arca-Arca, Gamelan, Tuah Meriam, Bedil Sundut, dan perkakas lainnya yang sekarang masih ada.

Perlu diterangkan bahwa sebelum perang, tidak sedikit yang berziarah ke Situ Sangiang dan ke Makam, juga tersebar rotannya dari Talaga.
Dari luar kabupaten, masih banyak orang-orang yang berziarah sampai sekarang. Demikian cerita singkat ini dikumpulkan dari orang-orang tua dan keturunanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Terpopuler